iklan space 728x90px

Sejarah E-sports, Awalnya Sebuah Aktivitas Sederhana dan Berhadiah Majalah Rolling Stones

Bermain gim alias ngegame saat ini bukan sekadar iseng, untuk mengusir penat, atau menghabiskan waktu luang. Seiring dengan perkembangan gim e-sports (electronic sports atau olah raga elektronik) yang telah menjadi fenomena global, dewasa ini orang bisa mencetak prestasi, bahkan menjadi kaya raya dari aktivitas bermain gim.

Digelarnya pertandingan e-sports sebagai cabang olah raga ekshibisi pada Asian Games XVIII/2018 lalu menjadi pengakuan bahwa e-sports layak menjadi bagian cabang olah raga kompetitif yang dipertandingkan pada ajang prestisius. Pada perhelatan Asian Games 2018, pertandingan e-sports digelar 26 Agustus - 1 Septembdr 2018. Kontestan dari 18 negara beradu kemampuan dalam enam gim yang dipertandingkan, yakni Arena of Valor, Clash Royale, Hearthstone, League of Legends, Pro Evolution Soccer, dan StarCraft II.


Kontingen e-sports Tiongkok keluar sebagai juara umum dengan raihan 2 medali emas dan 1 perak. Indonesia yang bertindak sebagai tuan rumah menempati peringkat kedua bersama Korea Selatan dengan 1 medali emas dan 1 perak, unggul atas Hong Kong dan Jepang.

Medali emas Indonesia diraih oleh Ridel Yesaya Sumarandak yang mengalahkan Huang Chenghui dari Tiongkok pada final gim Clash Royale. Kendati perolehan medalinya belum diperhitungkan pada raihan medali resmi Asian Games 2018, e-sports dipastikan akan menjadi cabang olah raga resmi pada Asian Games 2022 di Hangzou, Tiongkok.

E-sports memang sedang naik daun dan jadi fenomena global. Berbagai pengembang gim berlomba-lomba menggunakan e-sports sebagai salah satu sarana menjual lebih banyak produk buatan mereka.

Akan tetapi, siapa sangka, e-sports berawal dari sebuah aktivitas sederhana. E-sports tak semegah seperti saat ini. Tak ada kompetisi digelar di stadion besar dengan layar raksasa. Tak ada kompetisi dengan hadiah bermiliar-miliar dolar Amerika Serikat. E-sports berawal dari kompetisi yang diadakan komunitas dan hanya berhadiah majalah.

Pertama kali budaya e-sports berkembang adalah dari sebuah kompetisi gim pada 1972. Saat itu, komputer masih merupakan barang langka nan mewah, tak ada internet, dan tentunya juga belum ada banyak variasi video game.

Kompetisi pertama e-sports diadakan pada 19 Oktober 1972 di Universitas Stanford. Pesertanya adalah mahasiswa yang diundang pada kompetisi bertajuk Intergalactic Spacewar Olympic, kompetisi untuk gim Spacewar. Hadiahnya bukan uang, tetapi layanan gratis satu tahun langganan majalah Rolling Stone.

Kompetisi itu menjadi cikal bakal lahirnya deretan kompetisi e-sports. Tahun 1980, Atari menyelenggarakan kompetisi Space Invader dengan jumlah peserta sebanyak 10.000 orang, paling besar di masanya. Malahan saat itu, kompetisi gim termasuk menjadi fenomena dan diangkat oleh majalah kenamaan Amerika Serikat, yakni Life dan Time.

Seiring dengan perkembangan teknologi internet di Amerika Serikat pada era 1990-an, kompetisi gim berkembang menjadi kompetisi-kompetisi online, beserta dengan organisasi yang punya visi untuk menjadikan kompetisi gim menjadi industri e-sports.

Nintendo World Championship yang digelar di Amerika Serikat, Nintendo Power Fest (1994) adalah dua dari sekian banyak kompetisi e-sports yang digelar masa itu.

Tahun itu juga mulai muncul organisasi untuk mengatur liga e-sports seperti Cyberathelee Professiorial League, Quake-Con, dan Professional Gamers League. Gim yang dipertandingkan mulai beragam seperti Quake, Counter Strike, dan Warcraft.

Memasuki tahun 2000-an, perkembangan e-sports semakin pesat. Kompetisi dan organisasi e-sports besar bermunculan. Beberapa nama seperti World Cyber Games, Intel Extreme Masters, Major League Gaming, lahir pada tahun 2000-an.

Fenomena menonton orang bermain gim pun turut berkembang pada masa ini. Penyedia jasa stream seperti Twitch dan Youtube semakin mendorong gamer untuk menonton pertandingan e-sports dan juga menonton orang lain bermain gim. ESPN, media olah raga besar dunia juga menyajikan berita tentang e-sports. Bahkan ESPN ikut menyiarkan secara live kompetisi e-sports The International 4 pada 2014.

Program beasiswa
Kini, e-sports begitu mendunia. Kompetisi Dota 2 dengan hadiah jutaan dolar AS, kompetisi League of Legends yang dikelola dengan amat profesional layaknya olah raga sesungguhnya, sampai bermacam gim seakan berlomba-lomba turut terlibat menjadi bagian dari fenomena e-sports.

Bukan itu saja, saking dinilai prospektif, program beasiswa e-sports bermunculan. University of Carlifornia, Irvine, di Amerika menawarkan beasiswa e-sports 4 tahun untuk League of Legends (LOL). Perguruan tinggi itu menduplikasi kebijakan yang dilakukan Korea Selatan. Salah satu universitas di Korea, South Korean University juga menawarkan beasiswa e-sports. Mereka melakukan hal itu lantaran League of Legends adalah salah satu gim populer di dunia.

Bukan hanya pada level perguruan tinggi, e-sports juga merambat sampai sekolah-sekolah. Salah satu SMA PSKD di Jakarta membuka program e-sports sebagai kegiatan belajar-mengajar. Mereka bahkan memberikan beasiswa meskipun kuotanya hanya sedikit. Oleh karena itu juga, SMA PSKD membuka lowongan untuk program e-sports. Melihat pasar e-sports yang semakin luas, ditambah negara tetangga seperti Malaysia juga sudah memulai program ini. SMA PSKD mulai inisiatif dengan mengajak MSI dan Steelseries sebagai sponsor.

Negara-negara di Eropa, seperti Norwegia dan Swedia, bahkan sudah lebih dulu memulai program e-sports di sekolah-sekolah. Program e-sports tingkat sekolah digelar untuk menyaring potensi gamer profesional yang bisa bersaing di tingkat internasional.

Jadi, ngegame sekarang ini benar-benar sangat menjanjikan untuk masa depan, bukan? [Arif Budi Kristianto]

Follow Warta Iptek di Google News